RSS

Hinduism

Hindu Dharma, Sanàtana Dharma dan Vaidika Dharma

Dalam upaya memantapkan pandangan kita terhadap ajaran Hindu Dharma terlebih dahulu kami ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran Hindu atau Hindu Dharma yang kita kenal sebagai satu agama tertua yang masih dianut oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu mengingat sampai sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang mendiskreditkan agama Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama yang tidak bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr. Mukti Ali, sebagai tokoh ahli perbandingan agama di Indonesia pada Kongres Agama-Agama di Indonesia, tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta menyatakan bahwa agama Hindu tidak mengenal missi karena dibatasi oleh sistem kasta. Bilama Hindu tidak mengenal missi, bagaimana orang Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?

Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang kasta adalah bentuk penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari pengertian Varna sebagai tersebut dalam kitab suci Veda. Yang dimaksud dengan Varna adalah pilihan profesi sesuai dengan Guóa (bakat pembawaan orang) dan Karma (kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.

Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang datang kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa yang disebut juga Jambhudvìpa.

Kata Sanàtana Dharma berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama asli dari agama ini masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).

Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu. Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya). Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda, 1988: 4)

Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda, 1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka (Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran Veda, bukan dalam pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).

Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.

Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti) yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla (yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah) dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber ajaran Hindu yang kedudukannya lebih tinggi.

Karakteristik Hindu Dharma

Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya.

Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : “Bukanlah seorang maharsi (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami” (Radhakrishnan, I, 1989: 27). Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari Hindu Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak menimbulkan pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Àdikara dan Iûþa atau Iûþadevatà (Morgan, 1987: 5). Àdikara berarti kebebasaan untuk memilih disiplin atau cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya, sedangkan Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang dijelaskan daalam kitab suci dan susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan kemantapan hati.

Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan : Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gaambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (1984: 34).

Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan Dr.K.M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar padaa saat tertentu (Natih: 1994: 116).

Sejarah Agama Hindu

PENGANTAR
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu. Sebagai Contoh: “Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu”. Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa. Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 22, 2011 inci Uncategorized

 

Ngaben massal

Ngaben Massal

Di

Desa kutuh

Ngaben

Jikalau mau ngliat kegiatan orang yang sedang melaksanakan ngaben di bali

silahkan click

Link ini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 23, 2010 inci Uncategorized

 

A Writer’s grandfather leaves Lontar…

Activity of a grandfather on his daily writing palm leaves

in BALI

Bali memiliki peninggalan sastra yang kaya dan beragam. Balinese traditional literature covers a wide variety of genres, ranging from folk tales and mythical stories in prose to epic poetry in different styles, from histories to dictionaries, from specialist manual to astronomical text, from magic formulae to moral treatises, from divination to agricultural practices from religious doctrine and philosophy to medicine. sastra tradisional Bali meliputi berbagai genre, mulai dari cerita rakyat dan cerita-cerita mistis dalam prosa ke puisi epik dalam gaya yang berbeda, dari sejarah ke kamus, dari spesialis manual ke teks astronomi, dari rumus ajaib untuk risalah moral, dari ramalan dengan praktek-praktek pertanian dari doktrin agama dan filosofi untuk obat-obatan.

Sastra tradisional Bali yang ditulis dalam berbagai bahasa seperti Sansekerta, Jawa Kuno, Jawa Tengah, dan Sastra Bali. It is usually written on specially dried and treated palm leaves ( lontar ), the letters are carved with a sharp knife ( pangrupak ), and then rubbed with a charcoal dye to make them stand out against the leaves. Hal ini biasanya ditulis pada khususnya kering dan diperlakukan daun kelapa (lontar), surat-surat yang diukir dengan pisau tajam (pangrupak), dan kemudian digosok dengan pewarna arang untuk membuat mereka mencolok dengan daun. Until now Balinese tend to use palm leaves ( lontar ) rather than papers as a medium to preserve the traditional literature. Sampai saat ini Bali cenderung menggunakan daun kelapa (lontar) daripada kertas sebagai sarana untuk melestarikan sastra tradisional. The palm leaves ( lontar ) give a sense of sacredness and Balinese tend to value highly what is inscribed on a palm leaves rather than written on a piece of paper. sawit daun (lontar) memberikan rasa kesucian dan Bali cenderung nilai tinggi apa yang tertulis di telapak meninggalkan daripada ditulis di atas selembar kertas.

Banyak literatur tradisional Bali terutama yang menuliskan dalam daun kelapa (lontar) dianggap suci dan memiliki kekuatan magis yang dapat merugikan pemilik jika ditangani secara tidak benar atau sembarangan. A special ceremony is held for all lontar manuscripts on the anniversary ( odalan ) of the goddess of learning, Saraswatilontar held once in each Balinese year of 210 days, in which all manuscripts are taken out and blessed. Sebuah upacara khusus diadakan untuk semua naskah lontar pada ulang tahun (Odalan) dari dewi belajar, Saraswati dilaksanakan sekali dalam setiap tahun Bali 210 hari, di mana semua naskah lontar yang dibawa keluar dan diberkati.

More info

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 17, 2010 inci Uncategorized

 

Me and my friends were on the timbis beach Bali

Timbis Beach

In this photo the contents of all existing friendships of my friends in my village to the  timbis beach often see people who like to fly with the hang gliding or parachuting.It also jams in this poto no one seaweed farmers in my village, which lies precisely timbis coastal district of Kuta-balithis poto my own and my design immortalized himself while learning to design photo.All the people in this photo of my friends in the fight against hard time fighting the wind on the beach timbis. Timbis beach Kutuh precisely located in the village, many of the tourist here who like to fly with an umbrella parachute, if you want to watch …..???,

Mungkin tidak banyak yang mengenal Pantai Timbis yang terletak di selatan Pulau Bali ini.Pantai ini eksklusif bagi para penggemar paragliding atau terbang layang Indonesia. Jadi bagi mereka yang menekuni hobi ini baik dari manca negara atau lokal Indonesia, Timbis Beach bukanlah tempat asing. Pantai ini terletak di Desa Kutuh – Kuta Selatan sekitar 30 km dari Denpasar atau 15 km dari Kuta. Atau hanya 7 km  dari Nusa Dua.Tempat ini diperkenalkan oleh Bernard  Fode seorang pebisnis warga Prancis yang sekaligus merupakan instruktur paralayang Bali. Ini  dimulai kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Pantai Timbis ini menjadi pilihan untuk tempat terbang dan mendarat para pemain para layang.  Baik itu Paragliding atau Hang Glidig. Tentu ada persyaratan khusus agar suatu tempat bisa dipakai untuk tempat tinggal landas bagi pesawat tak bermesin yang memakai parasut ini.

Yang utama adalah kontur tebingnya, harus memenuhi kecuraman tertentu dimana memungkinkan untuk mengembangkan payung sebelum terbang. Karena paragliding bukan seperti Sky Dive atau terjun payung dari pesawat terbang. Payung yang dipergunakan hampir mirip hanya saja cara dan teknik awalnya berbalikan.Karena yang satu mulai dari darat berarti perlu tinggal landas, sedangkan terjun payung hanya mengandalkan mekanisme otomatis atau manual untuk mengembangkan payung.

Terbang di Pantai Timbis tentu sangat mengasikkan karena pemandangan laut biru luas yang membentang. Anda akan merasakan siulan angin dari tali-tali paralayang memberi rona suara yang mungkin belum pernah Anda dengar. Tergantung tingkat kemahiran, Anda bisa melakukan beberapa manuver seperti memutar 360°, yang mana dengan cara ini Anda bisa menurunkan ketinggian atau merasakan sensasi G-Force.Anda juga tidak harus bisa terbang untuk bisa menikmati Pantai Timbis dan sekitarnya, Anda bisa tandem dengan beberapa pilot kawakan  yang mengelola tempat wisata ini. Diantaranya Ketut Manda dan Bernard Fode. Mereka juga memberikan harga khusus bagi wisatawan Indonesia. Karena untuk orang asing ongkos “tandem” atau memboceng terbang adalah $50 dolar AS. Kata membonceng disini pun sebenarnya tidak tepat karena dalam paralayang Anda tidak berada dibelakang pilot tetapi di depan pilo

Pantai Timbis dari udara terlihat berbeda, Anda bisa menyaksikan petak-petak kebun rumput laut. Anda juga bisa menyaksikan dari dekat vila-vila mewah di tebing-tebing kearah Uluwatu dan Sawangan atau Nusa Dua.Tetapi tidak hanya keindahan pemandangan yang anda saksikan juga Anda akan terbang diatas Pura disepanjang tebing ini, antara lain dari arah timur Nusa Dua adalah Pura Geger, kemudian Pura Barong-barongan keduanya berada di Desa Sawangan, kemudian Pura Gunung Payung, Pura Melang Kelod, Pura Penyarikan, Pura Penyekjekan ini berada di Desa Kutuh. Di Desa Ungasan Anda akan melintas di atas pura Batu Pageh dan beberapa pura kearah barat.Terbang diatas pura perlu sedikit perhatian ekstra, karena Pura di Bali di sakralkan oleh umat Hindu, kita harus memberikan perhatian khusus agar tidak terbang persis diatas atau terlalu dekat dengan Pura.Karena kontur tebing pantai selatan seperti hurup U terbalik, maka adalah berisiko kalau Anda terbang melewati batas tertentu, risikonya tentu kehilangan tekanan angin, yang menurunkan ketinggian atau harus mendarat darurat yang jauh dari jangkauan transportasi. Ini bisa dihindari kalau kita punya komunikasi yang baik dengan penerbang lokal setempat. Ask before you go atau bertanya sebelum tersesat.


 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 14, 2010 inci Uncategorized

 

Duana in the sky

Duanoe’s and her siblings.

Poto was immortalized by Duanoe’s when they perform in temples namely pesembahyangan at Temple Gardens.
from right to left: Duanoe’s, Choa Chung ming and Marga
It is designed by Poto Duanoe’s. if you want your photo in design ….! Please design itself ….??? Okay ….

Email:

duanamade@yahoo.com
duanamade@gmail.com

My Web:
https://duanamade.wordpress.com/

facebook.twitter, myspace
ect …
Free lho ……..?
rose If you want ………!!!
ha ha ha ……….


 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 4, 2010 inci Uncategorized

 

PETANI RUMPUT LAUT

Seaweed Farmer

KEGIATAN

PETANI RUMPUT LAUT

DI

DESA KUTUH

kutselBAli

Inilah kegiatan dan keadaan seorang petani rumput laut di DESA KUTUH kecamatan kuta selatan kabupaten badung, tepatnya di pesisir bali selatan. Seorang petani rumput laut ini sangat gagah dan tangguh dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari demi menunjang kebutuhan hidup yang semakin hari semaikn banyak kebutuhan yang di perlukan. dan itu pun harus wajib dia lakukan demi kesejahteraan generasi penerusnya di kemudian hari.

Saya sebagai seorang petani rumput laut, tentunya sangat mengharapkan uluran tangan pemerintah agar bisa membantu saya dan teman teman seperjuangan petani rumput laut di sini, kami sangat membutuhkan bantuan pemerintah dikala kami sedang mengalami masa paceklik(rumput laut dlm keadaan rusak/kena penyakit). untuk di masa-masa rumput laut kam yang sedang mengalami penyakit…? kami dengan sangat memohon agar pemerintah mengulurkan tanganya untuk memberikan bibit yang baru dan memberikan solusi-solusi/saran-saran biar kami masih tetap semangat dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Terima kasih sebelumnya……………
Badungkab.go.id – Kelompok tani rumput laut SEGARA AMERTA Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung  mewakili Provinsi Bali dalam lomba penilaian kinerja kelembagaan Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) tingkat nasional. Acara yang berlangsung Selasa (16/6) di Balai Kelompok Segara Amerta Kutuh ini dihadiri Wakil Bupati Drs I Ketut Sudikerta, DPRD Badung diwakili I Ketut Suiasa, Kadis Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Badung Ir I Made Badra,MM, Kabid Budidaya Ikan Prov. Bali Ir. AA Gde Mahendra Putra dan Camat Kuta Selatan I Wayan Wijana, S.Sos.

Bupati Badung dalam sambutannya yang dibacakan Wabup Sudikerta menyambut baik diadakan lomba kinerja kelembagaan Pokdakan tingkat nasional ini, dengan harapan agar dapat menggugah perilaku masyarakat petani rumput laut di Kabupaten Badung pada umumnya dan Kecamatan Kuta Selatan khususnya serta mampu meningkatkan produktivitas hasil rumput lautnya.

Lebih lanjut disampaikan peningkatan produksi di bidang perikanan budidaya yang meliputi pengembangan komoditas unggulan mempunyai nilai ekonomis penting misalnya rumput laut. Keberhasilan peningkatan produksi tersebut akan bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, penguasaan teknologi oleh pembudidaya, permodalan usaha, jaminan pemasaran dan sumber daya manusia sebagai Pembina. Namun yang tak kalah pentingnya yaitu para pembudidaya ikan yang tangguh, dinamis dan mandiri sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan program peningkatan produksi di lapangan.

Disampaikan Sudikerta, hal tersebut optimis tercapai mengingat  Desa Kutuh telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan rumput laut di Kab. Badung melalui keputusan Bupati Badung tahun 1998. Disamping itu Pemkab. Badung melalui Disnakkanlut tetap konsisten memberi bantuan penguatan modal, bantuan jaring, mesin tempel, perahu dan membina para petani dengan tujuan meningkatkan taraf hidupnya.

Ketua tim penilai kinerja kelembagaan Pokdakan Ir Abdullah menyampaikan  dalam lomba yang diikuti oleh 15 Provinsi dari  seluruh Indonesia ini bertujuan untuk memotivasi memajukan budidaya rumput laut, meningkatkan produksi serta agar para petani mengetahui cara pengembangan budidaya ikan yang baik. Objek penilaian meliputi aspek teknis, aspek ekonomi atau tingkat pendapatan dan aspek sosial.

Sementara Ketua Kelompok Tani Rumput Laut Segara Amertha I NYOMAN YASA dalam laporannya mengatakan wilayah kerja kelompok tani rumput laut Segara Amertha adalah DESA KUTUH yang tersebar di 4 banjar adat yaitu Banjar Jaba Pura, Banjar Kaja Jati, Banjar Panti Giri dan Banjar Petangan, dengan jumlah anggota mencapai 90 orang. Untuk pemasaran hasil produksi rumput laut, Kelompok Tani Segara Amertha  melakukannya dengan pola kerjasama yang saling menguntungkan yaitu  pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dengan UD. Putra Tunggal sebagai perusahaan inti.

untuk info lebih lanjut



 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 4, 2010 inci Uncategorized